-
Perkembangan
Bahasa Bali
Bahasa Bali adalah termasuk rumpun
bahasa Austronesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya persamaan-persamaan
leksis diantara pendukung bahasa itu. Disamping adanya persamaan-persamaan
leksis itu ditandai juga dengan adanya persamaan bunyi bahasa, baik yang
menyangkut bunyi konsonan maupun bunyi vokal. Berdasarkan analisis leksis dan
beberapa ciri tertentu yang dapat menunjangnya, bahasa Bali dapat
diperiodisasikan ke dalam tiga periode yaitu Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan,
Bahasa Bali Baru. Ciri-ciri tertentu yang memperkuat analisis leksis itu adalah
menyangkut perkembangan aksara, pemakaian bahasa Bali dalam setiap periode, dan
pengaruh-pengaruh yang diterima bahasa Bali dalam setiap periode.
Jika dilihat dari pemakaian perbedaan
antara periode sesuai perkembangan bahasa semakin tampak. Pemakaian pada
periode Bahasa Bali Kuna sangat menonjol pada tembaga, tanah liat, sedangkan
pada Bahasa Bali Tengahan pada Lontar. Lain halnya dengan Bahasa Bali Baru
disamping pada lontal-lontal juga pada kertas-kertas. Huruf yang digunakan juga
tidak terbatas pada huruf Bali, tetapi juga huruf Latin.
Pemakaian Bahasa Bali Kuna sangat
menonjol dalam bidang peraturan-peraturan berbeda dengan Bahasa Bali Tengahan
dan Bahasa Bali Baru. Bahasa Bali Tengahan sangat menonjol dalam bidang
kasusastraan, sedangkan Bahasa Bali Baru dipakai hampir pada semua aspek
keidupan. Pengaruh-pengaruh yang diterima dalam setiap periode berbeda juga.
Pada periode Bahasa Bali Kuna banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta, disamping
bahasa-bahasa lain. Bahasa Bali Tengahan banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta
dan Jawa Tengahan, disamping bahasa-bahasa yang lain, dan Bahasa Bali Baru
banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta dan bahasa Arab, disamping bahasa lainnya.
Ciri lain yang membedakan diantara
periode-periode bahasa Bali itu adalah mengenai tingkatan-tingkatan bahasa.
Bahasa Bali Kuna boleh dikatakan tidak mengenal akan hal itu, tetapi Bahasa
Bali Tengahan dan Bahasa Bali Baru mengenal adanya tingkatan-tingkatan bahasa.
Perkembangan
Aksara Bali dan Latin
Bahasa Bali selain
ditulis dengan aksara Latin, juga ditulis dengan aksara Bali. Pada umumnya
aksara Latin digunakan untuk menulis hal-hal yang bersifat lebih modern,
sedangkan aksara Bali digunakan untuk menulis hal-hal yang bersifat
tradisional.
Pasang aksara Purwadresta sebagai
kebiasaan menulis aksara Bali zaman dahulu, yang mengawali penulisan aksara
Bali. Hukum-hukum pasang aksara Purwadresta yang memadai memang belum pernah
ditemukan sampai saat ini, sehingga pasang aksara Purwadresta
diindentifikasikan dengan pasang aksara Bali yang diterapkan pada naskah lontar
pada zaman dahulu. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pasang aksara
Purwadresta dalam penulisan menerapkan : 1) Aksara Wreastra dan Aksara
Swalalita ; 2) Rangkepan Aksara Wianjana sesuai dengan daerah artikulasi ; 3)
Pasang Pageh dan Pada Padaning suara Bina Arti ; 4) Bentuk Penulisan Jajar
Sambung. Ketentuan-ketentuan inilah sebagai suatu ciri-ciri pokok yang diterapkan
dalam sistem Pasang Aksara Purwadresta.
1)
Pangangge
Suara
Pangangge
suara digunakan untuk menandakan bunyi vokal yang menyertai aksara wianjana
atau konsonan yang ada. Namun disamping fungsi itu pangangge suara seperti
tedong, ulu sari, suku ilut, taleng marepa, taleng marepa matedong, pepet
matedong, juga memiliki aturan-aturan tersendiri sesuai dengan kedudukan/posisi
penulisannya.
-
Tedong ¨¨¨¨¨¨¨o
Dalam penulisannya
tedong ditulis secara melekat pada aksaranya.
Contoh : H¨¨¨,N¨¨¨,C ¨¨¨,R¨¨¨,K¨¨¨,G¨¨¨,¨T¨¨¨,M¨¨¨,S¨¨¨,W¨¨¨,L¨¨¨,P¨¨¨,D¨¨¨,Y¨¨,~ ¨
,
Namun
pada aksara nga( \ ), pada aksara ja( j ),
pada aksara nya(z
), dan pada aksara ba( b ),
penulisan tedong tidak melekat, karena apabila dilekatkan maka bentuk aksaranya
mengaburkan atau sama dengan bentuk aksara yang lainnya , khusus pada aksara
(ja) memang tidak mengaburkan namun bentuknya menjadi kurang praktis.
Contohnya : b +
¨¨¨¨ o = Z
Tedong digunakan untuk menuliskan persandian
a + a = ā. Hal ini dapat dilakukan baik dalam sebuah kata, maupun dalam dua
buah kata yang mendapatkan sandi.
Contoh
:
Dalam
satu buah kata : s + hmæun/,
menjadi S mæun/,
Dalam
dua buah kata : k r* +
hs)m/, menjadi
kr\osm/,
-
Ulu
sari ¨¨¨¨¨¨¨ù
Secara umum penggunaan
ulu sari sebagai berikut. Sandi i + i = Ῑ
Contohnya
: di + hibi menjadi dùbi ,
Sandi a + i =Ῑ
Contohnya
: m +
hiku; menjadi mùku;,
Untuk menuliskan nama
wanita.
Contohnya
: edwù, (gelar dewa wanita)
-
Suku
Ilut/Kered ¨¨¨¨¨±
Secara
umum penggunaan suku ilut ditemukan sabagai berikut. Suatu kata penulisannya
diawali dengan u ( hu
), mendapat awalan pa- ( p
), ma-( m ), ka-( k), maka penulisannya u
menjadi suku ilut.
Contoh
: k + hum;,
menjadi k±m;,
Suatu
kata yang suku pertamanya mendapat u dan menggunakan surang, maka penulisannya
menjadi suku ilut.
Contoh
: s(uyêk, menjadi s(±yk/,
-
Taleng
Marepa E¨¨¨¨¨
Taleng
marepa juga disebut taleng sari, yang penggunaannya apabila suatu kata diawali
dengan vokal e (eh),
dan mendapat awalan ka- (k),
sa-( s),
ma-( m).
Contoh
: k + ehr*
menjadi
Ekr\n/,
-
Taleng
Marepa Matedong E¨¨¨¨¨o
Taleng
marepa matedong maksudnya adalah suatu kata penulisan aksara Bali yang
menggunakan atau mendapatkan tedong dalam satu aksara.
Contoh
: EK rw
, (kaurawa)
-
Pepet
Matedong ¨¨¨¨)¨¨o
Pepet
matedong maksudnya adalah suatu kata dalam penulisannya mendapat pengangge
suara pepet dan tedong dalam satu aksara. Dan ini digunakan apabila suatu kata
diawali dengan vokal e (h)),
mendapat awalan ka- (k),
pa- (p).
Contoh
: p + h)j*, menjadi P )
j*,
Contoh
di dalam ejaan/pasang aksara Purwadresta menjadi tumpuk, seperti :
P)_j*, menjadi p*éo,
2)
Pangangge
Ardasuara
Pangangge
ardasuara maksudnya adalah pengangge yang berasal dari aksara ardasuara, yaitu ¨¨¨Î (guung),
¨¨¨¨Ù (suku kembung), ¨¨¨¨ê nania, ¨¨¨¨Þ (ngantungan la).
-
¨¨¨¨Î
Guung
dan ¨¨¨¨¨Ì Guung Macelek
Guung dan guung macelek
memilki fungsi untuk melambangkan ra dan ṛ.
Contoh
:
Cakra
= ckÎ,
Sregep
=sÌg)p/,
-
Suku
Kembung ¨¨¨¨Ù
Suku
kembung memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan ua dan wa.
Contoh
:
Kuasa
= kÙs,
-
Nania
¨¨¨¨ê
Nania memiliki fungsi
untuk melambangkan penulisan gantungan ya.
Contoh
:
Sadia
= sdê,
-
Gantungan
la ¨¨¨¨Þ
Gantungan
la memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan la pada kluster l.
Contoh
:
Blau
= bÞhu,
3)
Pangangge
Tengenan
Pengangge
tengenan maksudnya adalah pengangge yang berasal dari tengenan wianjana, yaitu
cecek, bisah, surang, adeg-adeg.
-
Cecek
¨¨¨¨*
Pengangge tengenan
cecek berasal dari tengenan ng.
Pada
suku kata terakhir. Contoh : kc*,
Pada
kata-kata yang kedua sukunya sama, dan keduanya mendapat tengenan ng, walaupun
mendapat nasal atau ardasuara.
Contoh
:
Cangcang
= c*c*,
Mangbang
= m*b*,
Pada
kata-kata yang suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua suku
maupun tiga suku, dan suku kedua atau ke tiga dari akhir kata mendapat tengenan
ng, maka tidak diganti dengan cecek.
Contoh:
Nangka
= n\Ð,
Tenggala
= t)\ál,
Untuk
menghindari aksara susun tiga.
Contoh
:
Angklung
= h*kÞ¡*,
-
Bisah
¨¨¨¨;
Bisah
berasal dari tengenan wisarga. Adapun pemakaiannya, sebagai berikut. Bisah
dipakai pada tengenan wisarga terakhir.
Contoh
:
Satuh
= stu;,
Alih
= hli;,
Bisa
dipakai pada kata-kata yang kedua sukunya sama dan keduanya mendapat tengenan
wisarga, walaupun mendapat anusuara atau ardasuara.
Contoh
:
Cahcah
= c;c;,
Nyahcah
= Z ;c;,
Bisa
diganti dengan wisarga bila suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas
dua suku maupun tiga suku, dan suku
kedua atau suku ketiga dari akhir kata mendapat tengenan wisarga.
Contoh
:
Cihna
= cihÂ,
-
Surang
¨¨¨¨(
Pangangge
tengenan surang berasal dari tengenan r. Adapun pemakaiannya, sebagai berikut.
Pada kata-kata yang
mendapat tengenan r.
Contoh
:
Damar
= dm(,
Galar
= gl(,
Surang
juga digunakan untuk mengganti rarepa (ṛ)
Contoh
:
Maharsi
= mh([i,
-
Adeg-adeg
¨¨¨¨/,
Adeg-adeg
memiliki fungsi mengganti tengenan wianjana lainnya. Adeg-adeg juga dipakai
untuk menghindari aksara susun tiga.
Contoh
:
Tamblang
= tm/bÞ*,
4)
Rangkepan
Wianjana
Rangkepan
wianjana maksudnya adalah rangkepan aksara wianjana dengan bentuk gantungan dan
gempelan.
-
Rangkepan Warga Talawia
Aksara
warga talawia meliputi ca, cha,ja, jha, nya, ya, sa. Kata-kata yang mengandung
bunyi na, mendapat gantung ca dan ja, maka na diganti dengan nya. Contoh : bné(, menjadi bzé(,
Kata-kata
yang mengandung bunyi sa, mendapat gantungan sa atau sasapa, maka sa diganti
dengan sasapa.
Kata-kata
yang mengandung bunyi da mendapat gantungan nya, maka da diganti dengan ja.
-
Rangkepan Warga
Murdania
Aksara
warga murdania meliputi ta, tha, da, dha,na, la, sa.
Aksara
na mendapat gantungan ta latik maka na diganti dengan na rambat.
Contoh
: knÕ menjadi
kxÕ,
Aksara
sa mendapat gantungan ta latik, maka sa diganti dengan sesapa.
Contoh
: dusÕ, menjadi du[Õ,
Aksara ra diikuti oleh wianjana na dan sa
,maka na diganti dengan na rambat sedangkan sa diganti dengan sesapa.
-
Rangkepan Warga Dantia
Aksara warga dantia
meliputi ta, tah, da, dha, na,la, sa.
Contoh :
Hasta
= hsÓ,
Astha
= hsÔ,
-
Rangkepan Warga Osthia
Aksara warga osthia
meliputi pa, pha, ba, bha, ma, wa.
Contoh
: tnãr, menjadi tmãr,
-
Disamping rangkepan
aksara tersebut, ada juga ditemukan, rangkepan yang tidak mengikuti aturan
warga aksara, yaitu am, ksa. dan rangkepan spa.
5)
Kata-kata yang diawali
dengan aksara wianjana ba, da, ja, ga apabila mendapat anusuara, masing-masing
bentuknya menjadi mba, nda, nyja, ngga.
Contoh
: di\); + anusuara n menjadi nà\);,
6)
Perulangan duipurwa
ditulis dengan aksara legna/legena.
Contoh
:
Sesate
= sset,
Lelima
= llim,
7)
Kata yang diawali
dengan aksara yang mendapat pepet, yang diikuti oleh aksara wianjana lainnya,
kecuali aksara ng, mendahului na, maka aksara yang mengikuti menjadi gantungan
atau gempelan, dengan menghilangkan pepetnya.
Contoh
= tÞ¡*tli, menjadi etãn/,
8)
Penulisan
ardasuara
Berdasarkan
fungsinya aksara ardasuara ada empat, yaitu ya, ra, la, wa.
Ardasuara
sebagai konsonan
Contoh
:
Wayah
= wy;,
Rame
= rem,
Ardasuara
sebagai vokal
Contoh
:
Krana
= kÉx,
Satua
= stÙ,
Adapun
aturan penulisannya adalah sebagai berikut :
-
Kata-kata yang suku
pertama mendapat suku diikuti bunyi wa, maka wa menjadi suku kembung.
Contoh
: buw;, menjadi bÙ,
Kata
yang diawali aksara ardasuara ya, atau wa mendapat awalan ka, pa, ma, maka ya
menjadi nania, sedangkan wa menjadi suku kembung.
-
Kata yang diawali
dengan aksara ardasuara mendapat anusuara ng, maka ardasuara menjadi pengangge
ardasuara.
Contoh
:wy*, + \/,
menjadi \Ùy*/,
9)
Aksara
Maduita
Aksara
maduita maksudnya aksara wianjana yang ditulis rangkap. Aksara maduita yang
disebabkan oleh perubahan akar kata menjadi kata.
Aksara
maduita yang disebabkan oleh surang.
Contoh
:
Dharmma
= v(mß,
10)
Tengenan
Majalan
Tengenan
majalan maksudnya adalah kata yang berakhir dengan konsonan yang sama, maka
disebut tengenan majalan, sehingga konsonan tersebut ditulis hanya satu. Contoh
: sêp/, + puti;,
menjadi
sêputi;,
Kemudian kehadiran pasang aksara
Bali Schwartz dalam sistem panulisannya, memang membawa perubahan dalam pasang
aksara Bali Purwadresta sebelumnya. Hal ini pula yang menyebabkan sistem
penulisan bahasa Bali dengan aksara Bali menjadi rancu sehingga dalam
penulisannya ada dua macam yaitu mengikuti pasang aksara Bali Schwartz dan
tetap menerapkan pasang aksara Bali Purwadresta. Sesungguhnya perbedaan itu
wajar-wajar saja, karena kehadiran ejaan Schwartz memang memiliki sasaran menyederhanakan
pasang aksara Bali. Beberapa contoh ejaan Schwartz , yaitu sebagai berikut :
-
Aksara Suara
Meka = m)k,
Maisi = mhisi,
-
Tengenan
Sengkala = s%kl,
Nangka = n*k,
-
Rangkepan Wianjana
Panci = pnÇi,
Banjar
= bné(,
-
Semi Vokal (Ardasuara)
Kuah = kÙ;,
Siap = sêp/,
-
Muduita
Sarwa = s(w,
-
Duipurwa
Sesate = sset,
Uraian tersebut menunjukkan bahwa
ejaan Schwartz tidak sejalan dengan tujuan ejaan Purwadresta. Namun dalam
pengembangan ejaan Schwartz dapat dikatakan memiliki andil pada masa mendatang.
Lalu setelah ejaan Schwartz
muncullah pasang akara Bali tahun 1957 yang maksudnya pasang aksara yang
berlaku berdasarkan hasil Pasamuan Agung Bahasa Bali. Di dalam Pasamuan Agung
ini masih tetap menerapkan pasang aksara Purwadresta, walaupun ada sedikit
penyesuaian untuk kepentingan pengajaran di tingkat pendidikan dasar. Perubahan
pasang aksara Bali Schwartz dalam Pasamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957, adalah
adanya penambahan pamakaian aksara Swalalita dan aksara Modre, serta beberapa
perubahan sistem penulisan. Perubahan-perubahan disajikan secara umum, dalam
bentuk contoh-contoh sebagai berikut :
-
Aksara Suara
Meka = m)k,
Maisi = misi,
-
Tengenan
Sengkala = s)\Ðl,
Nangka = n\Ð,
-
Rangkepan Wianjana
Panci = pzÇi, Banjar = bzé(,
-
Semi Vokal
Kuah = kÙ;,
Siap = sêp/,
-
Maduita
Sarwa = s(wÙ,
-
Duipurwa
Sesate = sset,
Secara umum pasang aksara Bali berdasarkan
keputusan hasil Pasamuan Agung Bahasa Bali masih tetap berpedoman pada pasang
aksara Purwadresta, karena tujuannya sama yaitu mewariskan nilai-nilai budaya
Bali.
Sesuai
perkembangan Bahasa Bali terus terjadi perubahan yaitu pasang aksara Bali tahun
1963. Adanya Pasamuan Agung Kecil ini adalah untuk meninjau keputusan Pasamuan
Agung 1957, karena dalam keputusan itu masih ada beberapa kelemahan, khususnya
yang menyangkut pengajaran aksara Bali. Adapun perubahan-perubahan keputusan
Pasamuan Agung 1957, di dalam Pasamuan Agung Kecil 1963, hanya menyangkut
sistem penulisannya yaitu pasang tumpuk menjadi pasang jajar, atau yang satu
kata menjadi dua suku dan juga yang tiga suku menjadi dua suku dalam penulisan
dengan aksara Bali yang terkenal dengan sistem dua suku. Sedangkan penggunaan
aksaranya masih tetap mempertahankan keputusan Pasamuan Agung 1957.
Ada
empat perubahan yang ditetapkan dalam Pasamuan Agung Kecil 1963.
Perubahan-perubahan itu adalah sebagai berikut :
1)
Penulisan rangkepan
aksara wianjana hanya berlaku dalam satu kata, sedangkan dalam Pasamuan Agung 1957
juga berlaku dalam dua kata
Contoh
:
Panci = pzÇÇi,
2)
Penulisan kata yang
menggunakan aksara ardasuara baik yang terdiri atas satu suku maupun tiga suku
diubah menjadi dua suku.
Contoh
:
Kuah = kuw;,
Buah = buw;,
3)
Penulisan aksara
muduita hanya mempertahankan maduita yang berasal dari akar kata.
Contoh
:
Wrtta = wÌtÓ,
4)
Penambahan uger-uger,
adeg-adeg, yaitu adeg-adeg juga digunakan untuk mempertahankan pasang dan
menghindari salah baca.
Contoh
:
Watek
ksatria = wt)k/ k×tiÉy,
Empat perubahan yang dilakukan itu
tidak sampai mengganggu sasaran utama belajar aksara bali yaitu mewariskan
nilai-nilai budaya Bali. Dengan demikian hasil pasamuan Agung Kecil Bahasa Bali
1963 sangat mendukung usaha-usaha pelestarian budaya Bali.
Dalam
usaha memudahkan pemahaman sistem perubahan penulisan aksara Bali yang terjadi
pada setiap periode, maka disajikan perbandingan perubahan yang terjadi secara
umum, yaitu sebagai berikut :
1) Sistem
penulisan Aksara Suara
Purwadresta Schwartz 1957 1963
mÐ, m)k, m)k, m)k,
2) Sistem
Penulisan Tengenan
Purwadresta Schwartz 1957 1963
t\Ð)jut/, t%k)jut/, t)\Ð)jut/, t)\Ð)jut/,
3) Sistem
Penulisan Rangkepan Wianjana
Purwadresta Schwartz 1957 1963
z(é, bné(, bZé( , bZé( ,
4) Sistem
Penulisan Ardasura
Purwadresta Schwartz 1957 1963
kÞilig/, kÞilig/, klilig/, klilig/,
5) Sistem
Penulisan Aksara Maduita
Purwadresta Schwartz 1957 1963
k(xÂ, k(n, k(xÂ, k(x,
6) Sistem
Penulisan Duipurwa
Purwadresta Schwartz 1957 1963
set, s)set, sset, sset,
Pembicaraan
Pasang Aksara Bali 1997 tidak disertakan dalam sub perbandingan Pasang Aksara,
karena keputusan Loka Karya Pasang Aksara Bali tahun 1997 hanya bersifat
penambahan uger-uger atau aturan-aturan yang memang sebelumnya tidak diatur,
terutama menyangkut aturan-aturan penulisan unsur serapan yang berasal dari
kata-kat modern.
Adapun
keputusan Loka Karya tahun 1997 hanya dilakukan penegasan-penegasan dan
beberapa penambahan aturan penulisan yang sebelumnya memang tidak ada, terutama
yang menyangkut sistem penulisan singkatan modern. Keputusan hasil Loka Karya
Aksara Bali antara lain sebagai berikut.
1)
Unsur serapan yang
berasal dari kata-kata asing kecuali unsur serapan dari kata-kata bahasa
Sansekerta dan Jawa Kuna atau bahasa Kawi ditulis dengan menggunakan aksara
wrestra atau a, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja,
ya, nya. Dengan aksara suaranya beserta pangangge aksaranya dengan sistem
penulisan masing-masing.
2)
Pelafalan unsur serapan
modern bunyi a /a/ pada akhir kata, yang tidak umum diucapakn atau dilafalkan e
/a/, masih tetap diucapakan a /a/.
Contoh : Lomba
dilafalkan /lomba/
3)
Nama tempat di bawah
ini sistem penulisannya berasal dari dua kata.
Contoh
: p\С*tb;,
4)
Lafal e /a/ pada suku
pertama pada kata-kata yang berasal dari ranah tradisional ditulis dengan
menggunakan pepet.
Contoh : k)timn/,
5)
Lafal e /e/ pada suku pertama kata-kata yang
berasal dari ranah modern ditulis dengan menggunakan pepet.
Contoh : s)eK l;,
6)
Penulisan tingkatan
modern dalam pasang aksara Bali adalah menulis ucapannya yang diawali dan
diakhiri dengan cari siki.
Contoh : p)zés/,
Usaha
pengkajian pasang aksara Bali Latin yang pertama dilakukan tahun 1915. Karena
tanggal 27 Juni 1915 diadakan rapat para guru se Buleleng di sekolah Singaraja
I, membicarakan pasang aksara Bali Latin, dengan tujuan menyatukan pendapat
agar sistem pasang aksara Bali Latin semakin baik. Buku yang disusun oleh I
Made Kaler bersama I Made pasek ini merupakan cikal bakal sistem penulisan
bahasa Bali dengan aksara Latin. Mengenai sistem penulisannya akan disajikan
dalam bentuk perbandingan dengan perubahan-perubahan yang terjadi berikutnya.
Tanggal
24 Februari 1931 buku yang menguraikan pasang aksara Bali karangan H.J.E.F
Schwartz pada bagian akhir buku tersebut membicarakan pasang aksara Bali Latin.
Adanya perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia dari ejaan Ch. A. Van Ophuyse
menjadi ejaan Swandi tahun 1947, maka pasang aksara bali Latin agar sesuai
dengan ejaan Swandi, penyesuaian ini dibicarakan dalam Pasamuan agung yang
diadakan dari tanggal 3-26 Oktober 1957. Hasil dari pasamuan Agung tersebut
dituangkan dalam buku yang berjudul “Ejaan Bahasa Daerah Bali dengan Huruf
Latin dan Huruf Bali”.
Tanggal
28-30 Desember 1963 diadakan Pasamuan Agung Kecil yang bertujuan meninjau
keputusan Pasamuan Agung, karena ada keputusan 1957 yang menimbulkan kesulitan
dalam penerapannya terutama yang menyangkut pasang aksara bali. Sedangkan dalam
hal pasang aksara Bali Latin hanya diadakan penegasan-penegasan.
Tanggal
17 Agustus 1972 diberlakukan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan,
berdasarkan keputusan Presiden, untuk menggantikan ejaan Swandi yang berlaku
sebelumnya. Maka pasang aksara Bali harus disesuaikan, sehingga diadakan Loka
Karya penyesuaian Ejaan Bahasa Bali Latin ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan. Hasil dari Loka Karya ini dibicarakan lagi dalam Loka Karya
tanggal 22-23 Maret 1973 di Jakarta. Untuk lebih jelas ada perbandingannya
yaitu :
PERBANDINGAN PASANG
AKSARA BALI LATIN
1915 1931 1957 1963 1974
oe oe u u. u
dj dj dj dj j
tj tj tj tj c
j j j j y
medjalan madjalan madjalan madjalan majalan
kesoerat kasoerat kasoerat kasurat kasurat
satoewa satoea satua satua satua
SUMBER :
Bawa, I Wayan, dkk. 1984/1985. Studi Sejarah Bahasa Bali. Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Oka Granoka, Ida Wayan,
dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.
*untuk mendapatkan materi ini dalam bentuk file pdf silakan download disini.