Om Swastiastu Rahajeng Mapanggih Ring Bali Knowledge

Selasa, 12 Juni 2012

MATERI Q


-          Perkembangan Bahasa Bali
Bahasa Bali adalah termasuk rumpun bahasa Austronesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya persamaan-persamaan leksis diantara pendukung bahasa itu. Disamping adanya persamaan-persamaan leksis itu ditandai juga dengan adanya persamaan bunyi bahasa, baik yang menyangkut bunyi konsonan maupun bunyi vokal. Berdasarkan analisis leksis dan beberapa ciri tertentu yang dapat menunjangnya, bahasa Bali dapat diperiodisasikan ke dalam tiga periode yaitu Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan, Bahasa Bali Baru. Ciri-ciri tertentu yang memperkuat analisis leksis itu adalah menyangkut perkembangan aksara, pemakaian bahasa Bali dalam setiap periode, dan pengaruh-pengaruh yang diterima bahasa Bali dalam setiap periode.
Jika dilihat dari pemakaian perbedaan antara periode sesuai perkembangan bahasa semakin tampak. Pemakaian pada periode Bahasa Bali Kuna sangat menonjol pada tembaga, tanah liat, sedangkan pada Bahasa Bali Tengahan pada Lontar. Lain halnya dengan Bahasa Bali Baru disamping pada lontal-lontal juga pada kertas-kertas. Huruf yang digunakan juga tidak terbatas pada huruf Bali, tetapi juga huruf Latin.
Pemakaian Bahasa Bali Kuna sangat menonjol dalam bidang peraturan-peraturan berbeda dengan Bahasa Bali Tengahan dan Bahasa Bali Baru. Bahasa Bali Tengahan sangat menonjol dalam bidang kasusastraan, sedangkan Bahasa Bali Baru dipakai hampir pada semua aspek keidupan. Pengaruh-pengaruh yang diterima dalam setiap periode berbeda juga. Pada periode Bahasa Bali Kuna banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta, disamping bahasa-bahasa lain. Bahasa Bali Tengahan banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta dan Jawa Tengahan, disamping bahasa-bahasa yang lain, dan Bahasa Bali Baru banyak kena pengaruh bahasa Sansekerta dan bahasa Arab, disamping bahasa lainnya.
Ciri lain yang membedakan diantara periode-periode bahasa Bali itu adalah mengenai tingkatan-tingkatan bahasa. Bahasa Bali Kuna boleh dikatakan tidak mengenal akan hal itu, tetapi Bahasa Bali Tengahan dan Bahasa Bali Baru mengenal adanya tingkatan-tingkatan bahasa.




Perkembangan Aksara Bali dan Latin
                        Bahasa Bali selain ditulis dengan aksara Latin, juga ditulis dengan aksara Bali. Pada umumnya aksara Latin digunakan untuk menulis hal-hal yang bersifat lebih modern, sedangkan aksara Bali digunakan untuk menulis hal-hal yang bersifat tradisional.
Pasang aksara Purwadresta sebagai kebiasaan menulis aksara Bali zaman dahulu, yang mengawali penulisan aksara Bali. Hukum-hukum pasang aksara Purwadresta yang memadai memang belum pernah ditemukan sampai saat ini, sehingga pasang aksara Purwadresta diindentifikasikan dengan pasang aksara Bali yang diterapkan pada naskah lontar pada zaman dahulu. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pasang aksara Purwadresta dalam penulisan menerapkan : 1) Aksara Wreastra dan Aksara Swalalita ; 2) Rangkepan Aksara Wianjana sesuai dengan daerah artikulasi ; 3) Pasang Pageh dan Pada Padaning suara Bina Arti ; 4) Bentuk Penulisan Jajar Sambung. Ketentuan-ketentuan inilah sebagai suatu ciri-ciri pokok yang diterapkan dalam sistem Pasang Aksara Purwadresta.
1)                  Pangangge Suara
Pangangge suara digunakan untuk menandakan bunyi vokal yang menyertai aksara wianjana atau konsonan yang ada. Namun disamping fungsi itu pangangge suara seperti tedong, ulu sari, suku ilut, taleng marepa, taleng marepa matedong, pepet matedong, juga memiliki aturan-aturan tersendiri sesuai dengan kedudukan/posisi penulisannya.
-                   Tedong    ¨¨¨¨¨¨¨o
Dalam penulisannya tedong ditulis secara melekat pada aksaranya.
Contoh : H¨¨¨,N¨¨¨,C ¨¨¨,R¨¨¨,K¨¨¨,G¨¨¨,¨T¨¨¨,M¨¨¨,S¨¨¨,W¨¨¨,L¨¨¨,P¨¨¨,D¨¨¨,Y¨¨,~                                   ¨          ,         
Namun pada aksara nga(  \    ), pada aksara ja(  j          ), pada aksara nya(z ), dan pada aksara ba(  b   ), penulisan tedong tidak melekat, karena apabila dilekatkan maka bentuk aksaranya mengaburkan atau sama dengan bentuk aksara yang lainnya , khusus pada aksara (ja) memang tidak mengaburkan namun bentuknya menjadi kurang praktis.
  Contohnya : b      +   ¨¨¨¨      o           =  Z
Tedong digunakan untuk menuliskan persandian a + a = ā. Hal ini dapat dilakukan baik dalam sebuah kata, maupun dalam dua buah kata yang mendapatkan sandi.
Contoh :
Dalam satu buah kata :   s                    +      hmæun/, menjadi  S     mæun/,
Dalam dua buah kata :   k r*           +      hs)m/, menjadi kr\osm/,
-          Ulu sari ¨¨¨¨¨¨¨ù
Secara umum penggunaan ulu sari sebagai berikut. Sandi i + i = Ῑ
Contohnya :        di                     + hibi                                                  menjadi  dùbi ,
Sandi a + i =Ῑ
Contohnya :        m                   + hiku;      menjadi  mùku;,
Untuk menuliskan nama wanita.
Contohnya : edwù,   (gelar dewa wanita)
-          Suku Ilut/Kered  ¨¨¨¨¨±
Secara umum penggunaan suku ilut ditemukan sabagai berikut. Suatu kata penulisannya diawali dengan u ( hu ), mendapat awalan pa- ( p ), ma-( m  ), ka-( k), maka penulisannya u menjadi suku ilut.
Contoh :  k   + hum;,  menjadi k±m;,
Suatu kata yang suku pertamanya mendapat u dan menggunakan surang, maka penulisannya menjadi suku ilut.
Contoh : s(uyêk,       menjadi s(±yk/,
-          Taleng Marepa   E¨¨¨¨¨
Taleng marepa juga disebut taleng sari, yang penggunaannya apabila suatu kata diawali dengan vokal e (eh), dan mendapat awalan ka- (k), sa-( s), ma-( m).
Contoh : k   + ehr*  menjadi  Ekr\n/,
-          Taleng Marepa Matedong E¨¨¨¨¨o
Taleng marepa matedong maksudnya adalah suatu kata penulisan aksara Bali yang menggunakan atau mendapatkan tedong dalam satu aksara.
Contoh :  EK    rw , (kaurawa)
-          Pepet Matedong ¨¨¨¨)¨¨o
Pepet matedong maksudnya adalah suatu kata dalam penulisannya mendapat pengangge suara pepet dan tedong dalam satu aksara. Dan ini digunakan apabila suatu kata diawali dengan vokal e (h)), mendapat awalan ka- (k), pa- (p).
Contoh : p  +  h)j*,  menjadi P  )  j*,
Contoh di dalam ejaan/pasang aksara Purwadresta menjadi tumpuk, seperti :
            P)_j*,  menjadi p*éo,
2)                  Pangangge Ardasuara
Pangangge ardasuara maksudnya adalah pengangge yang berasal dari aksara ardasuara, yaitu ¨¨¨Î                 (guung), ¨¨¨¨Ù   (suku kembung), ¨¨¨¨ê   nania, ¨¨¨¨Þ   (ngantungan la).
-          ¨¨¨¨Î   Guung dan ¨¨¨¨¨Ì Guung Macelek
Guung dan guung macelek memilki fungsi untuk melambangkan ra dan ṛ.
Contoh :
Cakra =  ckÎ,                                                                                                                                                                                             
Sregep =sÌg)p/,
-          Suku Kembung  ¨¨¨¨Ù   
Suku kembung memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan ua dan wa.
Contoh :
Kuasa =  kÙs,  
-          Nania ¨¨¨¨ê  
Nania memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan ya.
Contoh :
Sadia = sdê,
-          Gantungan la ¨¨¨¨Þ
Gantungan la memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan la pada kluster l.
Contoh :         
Blau =  bÞhu,
3)                  Pangangge Tengenan
Pengangge tengenan maksudnya adalah pengangge yang berasal dari tengenan wianjana, yaitu cecek, bisah, surang, adeg-adeg.
-          Cecek ¨¨¨¨*
Pengangge tengenan cecek berasal dari tengenan ng.
Pada suku kata terakhir. Contoh : kc*,
Pada kata-kata yang kedua sukunya sama, dan keduanya mendapat tengenan ng, walaupun mendapat nasal atau ardasuara.
Contoh :
Cangcang =  c*c*,
Mangbang = m*b*,
Pada kata-kata yang suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua suku maupun tiga suku, dan suku kedua atau ke tiga dari akhir kata mendapat tengenan ng, maka tidak diganti dengan cecek.
Contoh:
Nangka = n\Ð,
Tenggala = t)\ál,
Untuk menghindari aksara susun tiga.
Contoh :
Angklung =  h*kÞ¡*,
-          Bisah ¨¨¨¨;
Bisah berasal dari tengenan wisarga. Adapun pemakaiannya, sebagai berikut. Bisah dipakai pada tengenan wisarga terakhir.
Contoh :
Satuh = stu;,
Alih = hli;,
Bisa dipakai pada kata-kata yang kedua sukunya sama dan keduanya mendapat tengenan wisarga, walaupun mendapat anusuara atau ardasuara.
Contoh :
Cahcah = c;c;,
Nyahcah = Z          ;c;,
Bisa diganti dengan wisarga bila suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua  suku maupun tiga suku, dan suku kedua atau suku ketiga dari akhir kata mendapat tengenan wisarga.
Contoh :
Cihna = cihÂ,
-          Surang ¨¨¨¨(
Pangangge tengenan surang berasal dari tengenan r. Adapun pemakaiannya, sebagai berikut.

Pada kata-kata yang mendapat tengenan r.
Contoh :
Damar =  dm(,
Galar =  gl(,
Surang juga digunakan untuk mengganti rarepa (ṛ)
Contoh :
Maharsi = mh([i,
-          Adeg-adeg            ¨¨¨¨/,
Adeg-adeg memiliki fungsi mengganti tengenan wianjana lainnya. Adeg-adeg juga dipakai untuk menghindari aksara susun tiga.
Contoh :
Tamblang = tm/bÞ*,
4)                  Rangkepan Wianjana
Rangkepan wianjana maksudnya adalah rangkepan aksara wianjana dengan bentuk gantungan dan gempelan.
-          Rangkepan Warga Talawia
Aksara warga talawia meliputi ca, cha,ja, jha, nya, ya, sa. Kata-kata yang mengandung bunyi na, mendapat gantung ca dan ja, maka na diganti dengan nya. Contoh : bné(,  menjadi bzé(,
Kata-kata yang mengandung bunyi sa, mendapat gantungan sa atau sasapa, maka sa diganti dengan sasapa.
Kata-kata yang mengandung bunyi da mendapat gantungan nya, maka da diganti dengan ja.
-          Rangkepan Warga Murdania
Aksara warga murdania meliputi ta, tha, da, dha,na, la, sa.
Aksara na mendapat gantungan ta latik maka na diganti dengan na rambat.
Contoh : knÕ           menjadi  kxÕ,
Aksara sa mendapat gantungan ta latik, maka sa diganti dengan sesapa.
Contoh : dusÕ,  menjadi du[Õ,
 Aksara ra diikuti oleh wianjana na dan sa ,maka na diganti dengan na rambat sedangkan sa diganti dengan sesapa.
-          Rangkepan Warga Dantia
Aksara warga dantia meliputi ta, tah, da, dha, na,la, sa.
Contoh :
Hasta = hsÓ,
Astha = hsÔ,
-          Rangkepan Warga Osthia
Aksara warga osthia meliputi pa, pha, ba, bha, ma, wa.
Contoh : tnãr,  menjadi tmãr,
-          Disamping rangkepan aksara tersebut, ada juga ditemukan, rangkepan yang tidak mengikuti aturan warga aksara, yaitu am, ksa. dan rangkepan spa.
5)                  Kata-kata yang diawali dengan aksara wianjana ba, da, ja, ga apabila mendapat anusuara, masing-masing bentuknya menjadi mba, nda, nyja, ngga.
Contoh : di\);   + anusuara n  menjadi nà\);,
6)                  Perulangan duipurwa ditulis dengan aksara legna/legena.
Contoh :
Sesate =  sset,
Lelima = llim,
7)                  Kata yang diawali dengan aksara yang mendapat pepet, yang diikuti oleh aksara wianjana lainnya, kecuali aksara ng, mendahului na, maka aksara yang mengikuti menjadi gantungan atau gempelan, dengan menghilangkan pepetnya.
Contoh =  tÞ¡*tli,  menjadi etãn/,
8)                  Penulisan ardasuara
Berdasarkan fungsinya aksara ardasuara ada empat, yaitu ya, ra, la, wa.
Ardasuara sebagai konsonan
Contoh :
Wayah =  wy;,
Rame =  rem,
Ardasuara sebagai vokal
Contoh :
Krana = kÉx,
Satua = stÙ,
Adapun aturan penulisannya adalah sebagai berikut :
-                      Kata-kata yang suku pertama mendapat suku diikuti bunyi wa, maka wa menjadi suku kembung.
Contoh : buw;,  menjadi bÙ,
Kata yang diawali aksara ardasuara ya, atau wa mendapat awalan ka, pa, ma, maka ya menjadi nania, sedangkan wa menjadi suku kembung.
-                      Kata yang diawali dengan aksara ardasuara mendapat anusuara ng, maka ardasuara menjadi pengangge ardasuara.
Contoh :wy*,  + \/,  menjadi \Ùy*/,
9)                  Aksara Maduita
Aksara maduita maksudnya aksara wianjana yang ditulis rangkap. Aksara maduita yang disebabkan oleh perubahan akar kata menjadi kata.
Aksara maduita yang disebabkan oleh surang.
Contoh :
Dharmma = v(mß,
10)                Tengenan Majalan
Tengenan majalan maksudnya adalah kata yang berakhir dengan konsonan yang sama, maka disebut tengenan majalan, sehingga konsonan tersebut ditulis hanya satu. Contoh :  sêp/,  + puti;,  menjadi  sêputi;,
            Kemudian kehadiran pasang aksara Bali Schwartz dalam sistem panulisannya, memang membawa perubahan dalam pasang aksara Bali Purwadresta sebelumnya. Hal ini pula yang menyebabkan sistem penulisan bahasa Bali dengan aksara Bali menjadi rancu sehingga dalam penulisannya ada dua macam yaitu mengikuti pasang aksara Bali Schwartz dan tetap menerapkan pasang aksara Bali Purwadresta. Sesungguhnya perbedaan itu wajar-wajar saja, karena kehadiran ejaan Schwartz memang memiliki sasaran menyederhanakan pasang aksara Bali. Beberapa contoh ejaan Schwartz , yaitu sebagai berikut :
-          Aksara Suara
Meka  =  m)k,
Maisi  = mhisi,
-          Tengenan
Sengkala  = s%kl,
Nangka    =  n*k,
-          Rangkepan Wianjana
Panci   = pnÇi,
Banjar = bné(,
-          Semi Vokal (Ardasuara)
Kuah   =  kÙ;,
Siap    = sêp/,
-          Muduita
Sarwa  =  s(w,
-          Duipurwa
Sesate  = sset,
            Uraian tersebut menunjukkan bahwa ejaan Schwartz tidak sejalan dengan tujuan ejaan Purwadresta. Namun dalam pengembangan ejaan Schwartz dapat dikatakan memiliki andil pada masa mendatang.
            Lalu setelah ejaan Schwartz muncullah pasang akara Bali tahun 1957 yang maksudnya pasang aksara yang berlaku berdasarkan hasil Pasamuan Agung Bahasa Bali. Di dalam Pasamuan Agung ini masih tetap menerapkan pasang aksara Purwadresta, walaupun ada sedikit penyesuaian untuk kepentingan pengajaran di tingkat pendidikan dasar. Perubahan pasang aksara Bali Schwartz dalam Pasamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957, adalah adanya penambahan pamakaian aksara Swalalita dan aksara Modre, serta beberapa perubahan sistem penulisan. Perubahan-perubahan disajikan secara umum, dalam bentuk contoh-contoh sebagai berikut :
-          Aksara Suara
Meka  =  m)k,
Maisi  =  misi,
-          Tengenan
Sengkala = s)\Ðl,
Nangka   = n\Ð,
-          Rangkepan Wianjana
Panci  = pzÇi,                 Banjar = bzé(,
-          Semi Vokal
Kuah   = kÙ;,
Siap    = sêp/,
-          Maduita
Sarwa  = s(wÙ,
-          Duipurwa
Sesate = sset,
                        Secara umum pasang aksara Bali berdasarkan keputusan hasil Pasamuan Agung Bahasa Bali masih tetap berpedoman pada pasang aksara Purwadresta, karena tujuannya sama yaitu mewariskan nilai-nilai budaya Bali.
Sesuai perkembangan Bahasa Bali terus terjadi perubahan yaitu pasang aksara Bali tahun 1963. Adanya Pasamuan Agung Kecil ini adalah untuk meninjau keputusan Pasamuan Agung 1957, karena dalam keputusan itu masih ada beberapa kelemahan, khususnya yang menyangkut pengajaran aksara Bali. Adapun perubahan-perubahan keputusan Pasamuan Agung 1957, di dalam Pasamuan Agung Kecil 1963, hanya menyangkut sistem penulisannya yaitu pasang tumpuk menjadi pasang jajar, atau yang satu kata menjadi dua suku dan juga yang tiga suku menjadi dua suku dalam penulisan dengan aksara Bali yang terkenal dengan sistem dua suku. Sedangkan penggunaan aksaranya masih tetap mempertahankan keputusan Pasamuan Agung 1957.
Ada empat perubahan yang ditetapkan dalam Pasamuan Agung Kecil 1963. Perubahan-perubahan itu adalah sebagai berikut :
1)                  Penulisan rangkepan aksara wianjana hanya berlaku dalam satu kata, sedangkan dalam Pasamuan Agung 1957 juga berlaku dalam dua kata
Contoh :
Panci  = pzÇÇi,
2)                  Penulisan kata yang menggunakan aksara ardasuara baik yang terdiri atas satu suku maupun tiga suku diubah menjadi dua suku.
Contoh :
Kuah  = kuw;,
Buah  = buw;,
3)                  Penulisan aksara muduita hanya mempertahankan maduita yang berasal dari akar kata.
Contoh :
Wrtta  = wÌtÓ,
4)                  Penambahan uger-uger, adeg-adeg, yaitu adeg-adeg juga digunakan untuk mempertahankan pasang dan menghindari salah baca.
Contoh :
Watek ksatria  = wt)k/ k×tiÉy,
            Empat perubahan yang dilakukan itu tidak sampai mengganggu sasaran utama belajar aksara bali yaitu mewariskan nilai-nilai budaya Bali. Dengan demikian hasil pasamuan Agung Kecil Bahasa Bali 1963 sangat mendukung usaha-usaha pelestarian budaya Bali.
Dalam usaha memudahkan pemahaman sistem perubahan penulisan aksara Bali yang terjadi pada setiap periode, maka disajikan perbandingan perubahan yang terjadi secara umum, yaitu sebagai berikut :
1)      Sistem penulisan Aksara Suara
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
mÐ,                                m)k,                                       m)k,                                       m)k,  
2)      Sistem Penulisan Tengenan
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
t\Ð)jut/,                  t%k)jut/,                              t)\Ð)jut/,                  t)\Ð)jut/,
3)      Sistem Penulisan Rangkepan Wianjana
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
z(é,                                                                                                               bné(,                                                                                                                                                       bZé(            ,                                                                                        bZé(            ,
4)      Sistem Penulisan Ardasura
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
kÞilig/,                                                                             kÞilig/,                                                                             klilig/,                                                           klilig/,
5)      Sistem Penulisan Aksara Maduita
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
k(xÂ,                                                                                                   k(n,                                                                                                                                                         k(xÂ,                                                                                                   k(x,
6)      Sistem Penulisan Duipurwa
Purwadresta                Schwartz                                 1957                            1963
set,                                                                                                                                                s)set,                                                                                                                                  sset,                                                                                  sset,
Pembicaraan Pasang Aksara Bali 1997 tidak disertakan dalam sub perbandingan Pasang Aksara, karena keputusan Loka Karya Pasang Aksara Bali tahun 1997 hanya bersifat penambahan uger-uger atau aturan-aturan yang memang sebelumnya tidak diatur, terutama menyangkut aturan-aturan penulisan unsur serapan yang berasal dari kata-kat modern.
Adapun keputusan Loka Karya tahun 1997 hanya dilakukan penegasan-penegasan dan beberapa penambahan aturan penulisan yang sebelumnya memang tidak ada, terutama yang menyangkut sistem penulisan singkatan modern. Keputusan hasil Loka Karya Aksara Bali antara lain sebagai berikut.
1)                  Unsur serapan yang berasal dari kata-kata asing kecuali unsur serapan dari kata-kata bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna atau bahasa Kawi ditulis dengan menggunakan aksara wrestra atau a, na, ca, ra, ka, ga, ta, ma, nga, ba, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya. Dengan aksara suaranya beserta pangangge aksaranya dengan sistem penulisan masing-masing.
2)                  Pelafalan unsur serapan modern bunyi a /a/ pada akhir kata, yang tidak umum diucapakn atau dilafalkan e /a/, masih tetap diucapakan a /a/.
Contoh : Lomba dilafalkan /lomba/
3)                  Nama tempat di bawah ini sistem penulisannya berasal dari dua kata.
Contoh : p\С*tb;,
4)                  Lafal e /a/ pada suku pertama pada kata-kata yang berasal dari ranah tradisional ditulis dengan menggunakan pepet.
Contoh : k)timn/,
5)                   Lafal e /e/ pada suku pertama kata-kata yang berasal dari ranah modern ditulis dengan menggunakan pepet.
Contoh : s)eK    l;,
6)                  Penulisan tingkatan modern dalam pasang aksara Bali adalah menulis ucapannya yang diawali dan diakhiri dengan cari siki.
Contoh : p)zés/,
Usaha pengkajian pasang aksara Bali Latin yang pertama dilakukan tahun 1915. Karena tanggal 27 Juni 1915 diadakan rapat para guru se Buleleng di sekolah Singaraja I, membicarakan pasang aksara Bali Latin, dengan tujuan menyatukan pendapat agar sistem pasang aksara Bali Latin semakin baik. Buku yang disusun oleh I Made Kaler bersama I Made pasek ini merupakan cikal bakal sistem penulisan bahasa Bali dengan aksara Latin. Mengenai sistem penulisannya akan disajikan dalam bentuk perbandingan dengan perubahan-perubahan yang terjadi berikutnya.
Tanggal 24 Februari 1931 buku yang menguraikan pasang aksara Bali karangan H.J.E.F Schwartz pada bagian akhir buku tersebut membicarakan pasang aksara Bali Latin. Adanya perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia dari ejaan Ch. A. Van Ophuyse menjadi ejaan Swandi tahun 1947, maka pasang aksara bali Latin agar sesuai dengan ejaan Swandi, penyesuaian ini dibicarakan dalam Pasamuan agung yang diadakan dari tanggal 3-26 Oktober 1957. Hasil dari pasamuan Agung tersebut dituangkan dalam buku yang berjudul “Ejaan Bahasa Daerah Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali”.
Tanggal 28-30 Desember 1963 diadakan Pasamuan Agung Kecil yang bertujuan meninjau keputusan Pasamuan Agung, karena ada keputusan 1957 yang menimbulkan kesulitan dalam penerapannya terutama yang menyangkut pasang aksara bali. Sedangkan dalam hal pasang aksara Bali Latin hanya diadakan penegasan-penegasan.
Tanggal 17 Agustus 1972 diberlakukan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, berdasarkan keputusan Presiden, untuk menggantikan ejaan Swandi yang berlaku sebelumnya. Maka pasang aksara Bali harus disesuaikan, sehingga diadakan Loka Karya penyesuaian Ejaan Bahasa Bali Latin ke dalam Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Hasil dari Loka Karya ini dibicarakan lagi dalam Loka Karya tanggal 22-23 Maret 1973 di Jakarta. Untuk lebih jelas ada perbandingannya yaitu :
PERBANDINGAN PASANG AKSARA BALI LATIN
1915                1931                            1957                            1963                1974
oe                    oe                                u                                  u.                     u
dj                     dj                                 dj                                 dj                     j
tj                      tj                                  tj                                  tj                      c
j                       j                                   j                                   j                       y
medjalan          madjalan                      madjalan                      madjalan          majalan
kesoerat           kasoerat                       kasoerat                       kasurat             kasurat
satoewa           satoea                          satua                            satua                satua



SUMBER  :
Bawa, I Wayan, dkk. 1984/1985. Studi Sejarah Bahasa Bali. Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Oka Granoka, Ida Wayan, dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.


*untuk mendapatkan materi ini dalam bentuk file pdf silakan download disini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar